Mahasiswa Magister Politik dan Pemerintahan Universitas Gadjah Mada
Gaya Rieke Pitaloka Berpoliitk lewat #ViralForJustice di Media Sosial
Selasa, 17 Juni 2025 16:12 WIB
Analisis gaya Legislatif Rieke Diah Pitaloka melalui #ViralForJustice: Media sosial sebagai ruang perjuangan politik dan advokasi publik.
Di era digital, media sosial telah menjadi ruang baru bagi politisi untuk membangun kedekatan dengan rakyat. Namun, tidak semua politisi mampu memanfaatkan ruang ini untuk menyuarakan aspirasi secara substantif. Rieke Diah Pitaloka adalah pengecualian yang patut dicermati. Lewat kampanye digital #ViralForJustice, ia tidak hanya hadir secara simbolik di ruang publik daring, tetapi aktif memperjuangkan isu-isu publik yang jarang diangkat oleh elite politik lainnya.
Unggahannya tentang eksploitasi lima pulau kecil di Raja Ampat, misalnya, tidak hanya menyampaikan fakta hukum, tapi juga menggugah kesadaran publik akan pentingnya menegakkan konstitusi. Rieke secara konsisten mengaitkan kritik kebijakan dengan dasar hukum yang kuat, mengutip putusan Mahkamah Konstitusi dan hierarki undang-undang dalam sistem hukum nasional. Ia menekankan bahwa semua pihak - eksekutif, legislatif, yudikatif, hingga warga negara - harus tunduk pada prinsip negara hukum.
Dalam unggahan lain, ia menyuarakan nasib 22.000 pensiunan PT. Pos Indonesia yang menghadapi ketidakpastian dana pensiun. Rieke tidak hanya menarasikan masalah, tapi juga menyusun tujuh poin tuntutan legislatif yang ditujukan kepada PT. POS, kementerian terkait, serta lembaga pengawas. Sikap ini memperlihatkan bagaimana seorang legislator menggunakan media sosial untuk menyampaikan hasil kerja legislatif sekaligus mendorong partisipasi publik dalam isu yang kompleks.
Ia juga mengecam kriminalisasi terhadap whistleblower korupsi, seperti dalam kasus Tri Yanto di BAZNAS Jawa Barat. Dalam narasinya, Rieke bertanya retoris, "Kalau pelapor korupsi dijadikan tersangka, lalu siapa lagi yang akan berani bicara?" Kalimat ini tidak hanya menyentuh logika hukum, tapi juga menyuarakan nilai moral yang dirasakan publik. Media sosial menjadi alat untuk menguatkan narasi keberpihakan terhadap keadilan sosial.
Apa yang dilakukan Rieke mencerminkan apa yang disebut Hanna Pitkin sebagai representasi substantif - ketika seorang wakil rakyat tidak hanya 'ada', tetapi benar-benar mewakili dan memperjuangkan kepentingan mereka yang diwakili (Pitkin, 1967). Ini bukan representasi simbolik semata, yang hanya hadir dalam bentuk pencitraan atau kehadiran fisik di parlemen, melainkan bentuk representasi yang aktif, empatik, dan berorientasi pada perubahan kebijakan.
Dalam konteks ini, media sosial bukan sekadar alat komunikasi, melainkan arena kontestasi politik dan klaim representasi, sebagaimana dikemukakan Nadia Urbinati dan Mark Warren (2008). Mereka menekankan bahwa representasi politik tidak lagi terbatas pada hubungan elektoral formal antara konstituen dan wakil rakyat, tetapi juga mencakup klaim-klaim representasi yang muncul dari ruang publik, termasuk media sosial. Di sinilah, representasi menjadi proses dinamis yang melibatkan suara-suara baru dan saluran-saluran partisipatif non-konvensional.
Lebih dari itu, gaya komunikasi Rieke - dengan bahasa pop, visual menarik, dan ajakan partisipatif - memenuhi karakteristik politik ter-mediasi (mediatized politics) seperti yang dikemukakan oleh Jesper Strömbäck. Ia menjembatani dunia elite dan rakyat biasa dengan sentuhan yang personal namun berbasis data dan hukum. Ini bukan pencitraan semata, tetapi praktik politik yang sadar akan pentingnya keterlibatan publik dan kecepatan komunikasi (Strömbäck, 2008).
Rieke juga menggunakan humor dan bahasa sehari-hari untuk mendekatkan diri dengan audiens digital. Dalam unggahannya tentang desa-desa di Purwakarta yang belum teraliri listrik meski dekat pembangkit, ia menulis, "Kalau aku sih malu #budayamalusamarakyat. Yuk, setuju ngga besty…?" Narasi ini, meski ringan, mengandung kritik tajam terhadap ironi pembangunan dan ketimpangan infrastruktur. Dengan begitu, ia tidak hanya menyampaikan fakta, tapi juga mengemasnya agar mudah diterima dan disebarkan.
Temuan Mikael Persson (2021) bahwa representasi kebijakan lebih condong pada kelompok mapan semakin menggarisbawahi nilai dari pendekatan Rieke. Ia justru memperjuangkan isu-isu kelompok marjinal seperti buruh, pensiunan, warga desa, dan korban kriminalisasi hukum. Dalam lanskap politik yang sering bias dan terpusat pada elite, model representasi semacam ini menjadi langka sekaligus sangat penting.
Dalam pandangan saya, representasi politik di era digital tidak lagi cukup diukur dari kehadiran di parlemen atau jumlah undangan debat televisi. Yang jauh lebih penting adalah keberanian politisi untuk mendengar, menyuarakan, dan memperjuangkan secara terbuka, bahkan melawan arus. Media sosial, jika digunakan dengan kesadaran politik yang kuat, bisa menjadi arena representasi yang lebih demokratis, interaktif, dan menyentuh langsung denyut aspirasi rakyat.
Kampanye #ViralForJustice menunjukkan bahwa media sosial dapat dimanfaatkan tidak hanya untuk popularitas, tetapi juga sebagai alat pembentuk opini publik yang berdaya. Rieke telah membuktikan bahwa representasi politik substantif dapat berjalan beriringan dengan gaya komunikasi digital yang progresif dan populis. Di tengah krisis kepercayaan terhadap lembaga-lembaga formal, pendekatan ini bisa menjadi inspirasi bagi politisi lain.
Dengan menjadikan media sosial sebagai ruang dialog, transparansi, dan advokasi, representasi politik mengalami revitalisasi. Bukan sekadar menyuarakan kepentingan konstituen, tapi juga membuka ruang agar konstituen turut berperan membentuk arah perjuangan politik wakilnya. Inilah demokrasi digital yang inklusif.
Referensi:
- Urbinati, N., & Warren, M. E. (2008). The concept of representation in contemporary democratic theory. Annual Review of Political Science, 11(1), 387–412. https://doi.org/10.1146/annurev.polisci.11.053006.190533
- Persson, M. (2021). Policy congruence and inequality in political representation. Socio-Economic Planning Sciences, 75, 100933. https://doi.org/10.1016/j.seps.2020.100933
- Pitkin, H. F. (1967). The Concept of Representation. University of California Press.
- Strömbäck, J. (2008). Four Phases of Mediatization: An Analysis of the Mediatization of Politics. The International Journal of Press/Politics, 13(3), 228–246.
Salam Sopan Indonesia!

Mahasiswa UGM
0 Pengikut

Warisan Politik Jokowi dan Bayangan Panjang Kepemimpinan Prabowo
Rabu, 18 Juni 2025 07:25 WIB
Gaya Rieke Pitaloka Berpoliitk lewat #ViralForJustice di Media Sosial
Selasa, 17 Juni 2025 16:12 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler